Tokyo Family: Mengajarkan Kita Tak Abaikan Orang Tua

Pernahkah kamu membayangkan ketika tua nanti, anak-anak kamu sibuk dengan keluarga masing-masing dan mengabaikan dirimu? Tema keluarga yang simple dan seringkali terjadi di kehidupan sehari-hari inilah yang diangkat oleh film bergenre drama, Tokyo Family. 

Tokyo Family (2013) adalah karya dari sutradara Yoji Yamada. Film ini adalah remake dari Tokyo Story (1953) karangan sutradara senior Yasujiro Ozu. Review dari Hollywood Reporter dan Japan Times mengatakan bahwa Yamada menjiplak habis-habisan apa yang dikerjakan Ozu, dari segi teknik pengambilan gambar, serta nuansa gloomy yang dihadirkan pun masih sama. Tak perlu heran, sebab, Yamada adalah asisten sutradara dalam Tokyo Story sehingga ia tau betul bagaimana Ozu bekerja. Tapi saya tidak akan membahas tentang perbandingan itu. Saya pribadi sangat kagum dengan tema sederhana yang diangkat dalam film ini. Pesan moral yang disampaikan sangat kuat dan menyentuh.

Tokyo Family menceritakan tentang kisah sepasang suami istri yang sudah menginjak usia senja mereka, Shukichi dan Tomiko, mengunjungi ketiga anaknya yang tinggal di Tokyo dengan keluarga mereka masing-masing. Anak pertama adalah Koichi yang berprofesi sebagai dokter, kedua adalah Shigeko yang membuka salon kecantikan, dan ketiga adalah Shuji yang berprofesi sebagai staff panggung. Kedatangan Shukichi dan Tomiko dari desa terasa memberatkan ketiga anaknya, sebab, Koichi, Shigeko, dan Shuji sangat sibuk dengan urusan mereka masing-masing sehingga tidak sempat meluangkan cukup waktu untuk orang tua mereka. Padahal kehadiran Shukichi dan Tomiko di Tokyo selama seminggu tidak neko-neko. Mereka hanya ingin melihat keadaan anak-anak mereka. Ya, hanya itu saja.

Lalu, di mana konfliknya? Sobat film jangan membayangkan kemunculan tokoh antagonis seperti karakter anak durhaka kepada orang tua layaknya plot cerita sinetron Indonesia. Kehebatan Tokyo Family adalah nuansa gloomy serta permainan emosi bisa diciptakan begitu kuat sehingga membuat penonton terpaku, menangis, lalu tersenyum, tanpa harus ada tokoh antagonis yang “lebay”. Dalam Tokyo Family, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan anak-anak Shukichi dan Tomiko yang terkesan mengabaikan mereka karena Koichi, Shigeko, dan Shuji memang betul-betul sibuk dan kerepotan mengurus segala hal di kehidupan mereka khas perilaku penduduk kota besar seperti Tokyo.

Klimaks dari film ini adalah meninggalnya sang ibu, Tomiko, secara tiba-tiba di hari terakhir kunjungannya ke Tokyo. Tomiko meninggal dengan perasaaan bahagia karena sebelumnya, Shuji, anak bungsu dan yang satu-satunya masih bujang memperkenalkan calon istrinya, Noriko, kepada Tomiko. Tomiko merasa sangat lega anak bungsunya memiliki calon pendamping yang sangat baik dan jujur. Kematian Tomiko membuat ketiga anaknya pun sadar bahwa sampai kapan pun, orang tua mereka masih terus mengkhawatirkan keadaan mereka.

Sebelumnya saya mengatakan tidak ingin membandingkan Tokyo Family dengan Tokyo Story. Tetapi, bagaimapun Tokyo Family adalah film remake dari Tokyo Story sehingga mau tidak mau saya harus sedikit membahas perbedaannya. Dalam Tokyo Family, sutradara Yoji Yamada membuat latar cerita menjadi lebih modern mengikuti perkembangan zaman dan hiruk pikuk yang terjadi di Tokyo masa kini. Sedangkan Tokyo Story memiliki latar cerita pasca perang. Dalam Tokyo Story, Shuji, anak bungsu Shukichi dan Tomiko telah meninggal dalam perang sehingga tokoh kunci dalam klimaks film adalah Noriko, istri Shuji. Sedangkan Yoji Yamada menghidupkan tokoh Shuji dalam Tokyo Family sehingga status tokoh kunci, yaitu Noriko adalah calon istri Shuji. Bagi saya yang merupakan generasi 90-an, Tokyo Family dirasa lebih mengena karena sesuai dengan zaman yang saya hadapi saat ini. selain itu, Tokyo Family juga membuktikan bahwa walau abad telah berlalu, tetapi kisah ini masih abadi. Artinya, perkembangan zaman serta tuntutan hidup dapat membuat kita lupa akan esensi hubungan dalam keluarga terutama hubungan antara orang tua dan anak.

Pesan moral dari film Tokyo Family bagi saya amat luar biasa. Seperti halnya di Jepang, di Indonesia pun hidup di kota besar dirasa lebih menjanjikan dibanding tinggal di kampung halaman. Di Indonesia, orang berbondong-bondong pergi ke Jakarta demi kehidupan yang lebih baik dengan meninggalkan orang tua mereka yang telah renta, atau bahkan meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil. Walau demikian, saya yakin orang Indonesia masih mengingat orang tua dengan budaya ‘mudik’ saat lebaran. Akan tetapi, apakah ‘mudik’ sudah cukup untuk menunjukkan bakti kita kepada orang tua? Bagi saya film ini adalah sentilan untuk lebih memperhatikan orang tua kita karena kita tidak tau kapan usia mereka akan berhenti, atau bahkan kita lebih dulu yang akan ‘pulang’ tanpa sempat meminta maaf dan membahagiakan orang tua kita.

Catatan penting saya lainnya dari Tokyo Family adalah saya belum pernah menonton film Indonesia bertema keluarga yang memiliki pesan moral dengan nuansa emosi kuat tanpa tokoh antagonis “lebay” seperti Tokyo Family. Padahal kekuatan film Indonesia hanya bisa diangkat dari cerita dan acting para pemainnya karena jika kita ingin menonjolkan visual effect, tidak berlebihan jika saya mengatakan film Indonesia ketinggalan sekitar 20 tahun dari film Hollywood. Tapi nyatanya belum ada film Indonesia yang memiliki plot yang kuat seperti saat saya menonton drama-drama Jepang dan Hollywood. Sejak kebangkitan film Indonesia, film-film kita masih mengangkat tema komedi yang terkadang jayus; Keindahan gambar karena lokasi shooting di luar negeri seperti dataran Eropa, dan negara-negara Asia yang sedang naik daun yang sudah pasti bikin kita ‘mupeng’;  Atau konflik yang masih saja seputar sakit kanker dan poligami. Isu poligami dan sakit kanker memang ‘lezat’, tapi saya yakin kejadian itu hanya terjadi dalam persentase kecil di kehidupan kita, dibandingkan kisah-kisah yang lebih dekat dengan semua orang seperti kisah Tokyo Family. Saya tidak meminta sineas film Indonesia menjiplak Tokyo Family. Saya hanya prihatin karena sampai saat ini saya belum menemukan film Indonesia yang bagus sehingga saya ingin menonton film Indonesia ke bioskop. Apakah sineas film Indonesia kehabisan ide? Jika demikian bagaiman jika mengikuti ide Tokyo Family, yaitu me-remake film-film Indonesia tahun 70-an yang memang masih jauh lebih baik dari film-film Indonesia jaman sekarang. Lagi-lagi saya tegaskan kritik saya tentang film Indonesia bukan untuk menjelekkan, tetapi saya prihatin dan sebagai penikmat film saya juga ingin ada film Indonesia yang bisa dibanggakan.

#awambahasfilm

 

Leave a comment